Jakarta
diguncang gempa untuk kesekian kali. Jakarta sudah akrab dengan gempa
sejak sekian abad lalu. Meski catatan gempa yang pernah terjadi di
Batavia tak mudah ditemukan, setidaknya ada beberapa catatan sejarah
yang sering menyebut tiga gempa hebat yang pernah menggoyang Batavia.
Warta
Kota pernah menyebutkan satu di antaranya, yaitu gempa di tahun 1780
dalam kaitan dengan sejarah Observatorium Mohr, observatorium pertama di
Batavia pada 1765 yang dibangun Johan Maurits Mohr. Robert H van Gent,
dalam makalah berjudul Observations of the 1761 and 1769 Transits of
Venus from Batavia (Dutch East Indies), menyebutkan, pada 1780 gempa
bumi mengguncang Batavia dan, salah satunya, memorakporandakan
Observatorium Mohr.
Lahan bekas letak observatorium itu
kini ada di sebuah gang bernama Gang Torong di Jalan Kemenangan Raya
(Petak Sembilan), Jakarta Barat.
Jauh
sebelum itu, yaitu pada 4 dan 5 November 1699, ternyata Batavia juga
sudah dikoyak gempa yang memorakporandakan kota. Gedung-gedung hancur,
sistem persediaan air pun ikut kacau. Willard Hanna dalam buku Hikayat
Jakarta menuliskan, gereja yang pernah berlokasi di mana Museum Wayang
kini berdiri, juga hancur karena gempa.
Hanna
juga mencatat, gempa kala itu diikuti letusan gunung berapi dan hujan
abu hingga aliran Sungai Ciliwung penuh lumpur. Catatan gempa besar
lainnya di Batavia adalah tahun 1883 ketika Gunung Krakatau meletus.
Meski demikian secara tersebar dan tanpa keterangan jelas disebut pula
gempa lain di tahun 1833 dan 1903.
Sementara
itu kegiatan pengamatan meteorologi pertama di Batavia sudah dilakukan 1
Januari 1758 tapi pengamatan teratur meteorologi dan geofisika dimulai
tahun 1866 dengan berdirinya Observatorium Magnet dan Meteorologi (OMM)
atau Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatoriu (KMMO).
Dalam
buku A History of Science in The Netherlands: Survey, Themes, and
Reference, yang diedit oleh van Berkel, van Helden, dan Palm,
disebutkan, Pieter Adriaan Bergsma, sarjana di bidang geologi,
ditugaskan melakukan penelitian meteorologi dan geomagnetic di Batavia
sampai kemudian Bergsma menjadi pimpinan di KMMO. Tugas utamanya
melakukan penelitian iklim dan peramalan cuaca jangka panjang untuk
usaha pengembangan pertanian khususnya perkebunan milik Belanda di
Indonesia.
Dalam perjalanan, nama lembaga itu
kemudian berubah-ubah. Di zaman Jepang menjadi Kisho Kauso Kusho dan
setelah kemerdekaan lembaga ini dipecah menjadi dua, yaitu Biro
Meteorologi di Yogyakarta yang khusus bertugas mengumpulkan informasi
untuk kepentingan militer, dan Jawatan Meteorologi dan Geofisika di
Jakarta, yang berada di bawah Kementrian Pekerjaan Umum dan Perhubungan.
Tugas
Jawatan Meteorologi dan Geofisika adalah mengumpulkan informasi
meteorologi dan geofisika lainnya. Sejak tahun 1951 Indonesia menjadi
anggota World Meteorological Organization (WMO). Pada tahun 1955 Jawatan
Meteorologi dan Geofisika berubah statusnya menjadi Lembaga Meteorologi
dan Geofisika, dan kemudian pada tahun 1980 menjadi Badan Meteorologi
dan Geofisika (BMG) di bawah Departemen Perhubungan. Kegiatan
meteorologi dan geofisika yang pada awalnya hanya terbatas pada
pengamatan cuaca atau hujan saja, kemudian meningkat dan mencakup
berbagai kegiatan pengamatan medan magnet, seismik, dan meteorologi
untuk bermacam-macam keperluan.
0 komentar:
Posting Komentar